Tragedi Sampang-Madura, Asmara dan Cermin Kerentanan

Berita sampang-madura hari ini sungguh menyedihkan bagi bangsa Indonesia. Bentuk kekerasan masih menyelimuti bangsa ini, terutama masalah SARA.

Budaya carok masih berurat akar di Madura, sebagaimana tercermin dari kerusuhan Sampang yang menelan korban jiwa. Tragedi Sampang adalah cermin keretakan dan kerentangan masyarakat Madura, kultur kekerasan lama yang masih mengemuka.

Madura adalah refleksi suatu masyarakat yang koyak dan belum bisa menjaga kerukunan agama. Salah satunya adalah tipisnya sikap saling toleransi dan dialog berkesinambungan untuk mewujudkan penyelesaian konflik tanpa melalui kekerasan. Di sisi lain yang perlu ditempuh adalah tindakan preventif atau pencegahan oleh masyarakat maupun negara.

Yang ironis, menurut Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, bahwa kasus Sampang berkembang sehingga berbuah penyerangan pada Muslim Syiah karena tidak adanya penyelesaian yang cepat dan tepat. Kasus tersebut, bermula dari dua orang bersaudara yang sama-sama menganut Syiah yang jatuh cinta kepada seorang gadis yang sama.

Kemudian, salah satu dari dua saudara tersebut keluar dari mahzab Syiah dan memprovokasi masyarakat bahwa telah terjadi konflik antara Syiah dan Sunni. Mahfud pun menyarankan agar proses hukum ditegakkan. Sebab tidak ada jalan lain kecuali penegakan hukum dengan tegas. Tidak boleh ada pengadilan oleh rakyat untuk rakyat. “Di negara mana pun, tindakan main hakim sendiri itu dilarang," tegas Mahfud.

Oleh sebab itu, pemerintah pusat perlu segera mengambil alih penanganan konflik Syiah di Sampang, Madura. Pemerintah pusat harus turun tangan langsung untuk menyelesaikan konflik tersebut agar konflik serupa tidak merembet ke wilayah lain di Indonesia.

Kerusuhan ini telah kali kedua terjadi di Sampang, tetapi tidak ada campur tangan yang serius dari pemerintah pusat dalam meredam konflik ini. “Apabila ada penanganan dini dari pemerintah pusat, kemungkinan tidak terjadi lagi kerusuhan lanjutan di Sampang saat ini," ujar Abdul Hakim, anggota Komisi VIII DPR, di Jakarta, Selasa (28/8/2012).

Idealnya, pemerintah pusat dapat segera mengambil alih penanganan konflik di Sampang, Madura, dan jangan hanya melempar tanggung jawab dan membiarkan pemerintah daerah mencari jalan keluar konflik tersebut.

Oleh sebab itu, pembentukan Tim Pencari Fakta (TPF) yang independen adalah langkah awal yang harus dilaksanakan pemerintah pusat dalam penanganan konflik Syiah di Sampang. TPF bertugas mencari fakta-fakta dan informasi yang akurat di masyarakat mengenai pemicu konflik. Hasil temuan TPF di lapangan bisa dijadikan masukan bagi perumusan jalan keluar konflik tersebut oleh pemerintah pusat.

Pemerintah pusat juga harus secepatnya menjembatani proses perdamaian dengan mengundang kedua belah pihak yang bertikai. Percepatan perdamaian di antara kedua belah pihak bisa segera meredam gejolak di masyarakat. Pemerintah pusat seharusnya dapat mengambil pelajaran dari kejadian kerusuhan di Sampang ini supaya pemerintah mempunyai tolok ukur dalam penyelesain konflik agama di daerah lain.

Masuk akal pandangan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD yang juga berasal dari Madura yang mengungkapkan bahwa toleransi antar umat Muslim berbeda mahzab harus dikedepankan daripada saling adu kekuatan. Toleransi antar umat berkeyakinan tidak hanya di Sampang, namun juga di kawasan regional maupun internasional karena konfigurasi jumlah pemeluk kepercayaan tertentu di setiap wilayah berbeda.

Para penganut Muslim Sunni agar menyadari posisi kuantitas karena posisi Sunni di dunia juga tidak seragam. Muslim Sunni, adalah mayoritas di Indonesia. Namun, tidak ada alasan bagi Muslim Sunni untuk sewenang-wenang pada Muslim Syiah yang minoritas.

Bahwa di negara Islam yang penganut Muslim Syiah termasuk mayoritas, Muslim Sunni mendapatkan jaminan keamanan. Hal itu, baru sebatas antar sekte dalam agama. Pada jangkauan pandangan yang lebih besar, tidak di setiap negara, golongan Islam memegang peranan sebagai mayoritas.

Di Perancis, misalnya, penganut Islam adalah minoritas namun dihormati. Hal yang bertolak belakang justru terjadi di Indonesia dan hal tersebut disesali Mahfud. Perbedaan keyakinan, diakuinya tidak selayaknya menjadi pembenar untuk sewenang-wenang karena mengenai perbedaan keyakinan dan kebebasan beragama sendiri telah diatur oleh konstitusi.

Di Madura dan kawasan lainnya kita harus memupuk toleransi antar pemeluk agama dan beda keyakinan. Sesunguhnya itulah hal paling inti mengenai perbedaan keyakinan yang diatur konstitusi. Tapi, adakah masyarakat Madura dan daerah lain mau memahami dan menyadarinya?

Sumber : Inilah.com


No comments:

Write a Comment


Top